Kamis, 04 Maret 2010

Adat Istiadat dan Kebudayaan Ambon pada saat Hari Pattimura

Perayaan hari Pattimura menyemut di sekitar Monumen Tugu Pattimura di Lapangan Merdeka. Disanalah, Pattimura dihukum gantung oleh Belanda. Kedatangan warga dari berbagai pelosok desa ini guna menyaksikan proses lari obor Pattimura dan pembakaran api Pattimura oleh Gubernur Maluku di tempat gantungan Pattimura tersebut.

Warga yang hadir saat itu banyak sekali dari yang muda sampai yang sudah lanjut usia. Mereka datang untuk melihat pemuda-pemuda Ambon membawa obor Pattimura. Warga berkumpul jadi satu mensesaki tiga ruas jalan di sekitar kawasan itu.

Sikap juang Pattimura bukanlah sendiri, tapi bersatu dengan rakyat untuk sama-sama berperang melawan Belanda. “Generasi sekarang juga harus meneledani sikap Pattimura ini, yakni melakukan pembangunan secara bersama-sama. Daerah ini akan maju kalau kita bersatu tanpa melihat perbedaan dalam membangun daerah ini pasca konflik. Suara tifa dipukul dan tauri (kulit kerang) ditup mengantarkan pasukan pembawa obor yang berpakaian merah-merah. Sekitar sepuluh pemuda membawa obor, sementara 20-an pemuda lainnya menenteng parang terhunus melakukan tari cakalele (tarian perang). Bahkan beberapa diantaranya seperti kerasukan dan menikam atau memotong bagian tubuh dirinya sendiri. Suasana ketika itu seakan penuh magis. Warga yang menontot berteriak-teriak histeris menyambut obor Pattimura. Suasana makin panas ketika sekelompok pemuda memperagakan tarian cakalele, diiringi suara tifa dan tauri.
Seusai membakar api Pattimura, gubernur selanjutnya menuju lapangan untuk memimpin upacara. Di tempat ini telah berkumpul muspida Maluku dan kota, para Latupati Saparua (raja-raja dari Saparua), mahasiswa, dan pasukan pembawa obor dan cakalele yang berasal dari pemuda Batumerah dan Mardika. Dari barisan peserta upacara ini kita bisa melihat suasana yang unik dari biasanya. Pemimpin upacara menggunakan pakaian perang dan gubernur sebagai pembina upacara hadir dengan pakaian tenunan Maluku. Gubernur saat itu menyandang gelar Upu Latu (Bapak Raja). Sebagian besar peserta upacara menggunakan pakaian tenunan Maluku, terkecuali TNI dan Polri. Di barisan Latupati Saparua, seluruh raja menggunakan pakaian kebesaran raja, sementara di barisan pembawa obor dan cakalele berpakaian merah-merah, dengan ikat kepala merah.

Gubernur Maluku dalam sambutannya mengatakan, hari Pattimura yang dilaksanakan setiap tanggal 15 Mei, jangan hanya dijadikan sebagai perayaan semata, tapi harus dimaknai semangat perjuangan Pattimura.

1 komentar: